KEBUDAYAAN SUKU BAJO DI LUWUK KABUPATEN BANGGAI

 

Suku Bajo yang berada di Sulawesi umumnya yaitu Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan berasal dari Johor Malaysia. Hal ini berdasarkan artikel dalam media massa, surat kabar, dan tradisi lisan dari para leluhur. Terbukti dengan bahasa yang digunakan Suku Bajo (Sama) memiliki persamaan arti dengan bahasa yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dan warisan leluhur, seperti olahraga ketangkasan  melempar buah yang disebut AMBELEH JOHOR berupa sepenggal kayu yang kedua ujungnya ditajamkan seperti tombak.
Penyebaran suku bajo di Indonesia hingga Manca Negara dari berbagai sumber bahwa:
“suku bangsa yang satu ini bajau sangat pandai menyesuaikan diri dengan perairan nusantara bahkan sampai keperairan kepulauan Filipina bagian selatan” .
Suku Bajo yang berasal dari Johor Malaysia di yakini oleh masyarakat setempat karena memiliki cerita tersendiri yaitu tradisi lisan Suku Bajo. Sebagai berikut: Alkisah Raja Johor memiliki seorang putri, saat sang putri jalan-jalan ke pantai hendak mandi, saat itu hari begitu cerah dan air laut tak begitu berombak. Tiba-tiba langit menjadi gelap dan angin barat bertiup sangat kencang dan ombakpun menggulung-gulung di pantai. Sang putri yang saat itu berada di pantai hilang seketika (Suku Bajo menyebutnya putri Papu). Raja Johor yang mendengar hal itu memerintahkan kepada seluruh rakyat untuk mencari sang putri yang hilang, namun tak juga ditemukan. Raja pun meminta kepada para pelaut Suku Bajo (Sama), untuk mengarungi lautan ke utara Thailand, ke timur Filipina, ke barat Madagaskar dan ke selatan Indonesia, berangkatlah mereka secara berkelompok masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang punggawa1. Sebelum mereka pergi mencari sang putri yang hilang mereka bermusyawarah untuk memutuskan rambu-rambu atau tanda pengenal yang akan digunakan, maka diputuskanlah menggunakkan bendera putih. Tanda ini bertujuan agar setiap kelompok yang telah melintasi pulau dan teluk harus menancapkan bendera putih di tempat tersebut, agar kelompok lain yang melihatnya mengetahui bahwa tempat itu telah disinggahi oleh kelompok terdahulu sehingga tidak perlu lagi untuk disinggahi dan dapat melanjutkan perjalanan.
 

1Seorang pemimpin dalam suatu desa.




Hingga saat ini bendera putih tersebut tetap membudidaya pada masyarakat Suku Bajo. sering kita temukan di kep karang pada perkampungan Suku Bajo (Sama) sebagai tanda lalulintas perahu agar tandas di kep karang.
Suku Bajo (Sama) mendapat sebutan yang dikenal dari bebagai daerah, seperti orang Makassar menyebutnya Orang Bayo atau Turijene (Turijeknek). Orang Bugis menyebutnya orang Bajo, sedangkan masyarakat Sulawesi Tengah menyebutnya orang Bajo (Bajau), di sekitar perairan Malaysia menyebutnya orang Bajaw, dan di perairan Filipina menyebutnya orang Sama, adapun dalam literature modern disebut sebagai The sea Gispy2.
Berdasarkan kesamaan ras antara Suku Bajo (Sama) di Indonesia dan Suku Bajo (sama) di Filipina, terletak pada ukiran tangkai pendayung perahu dan pada kemudi satu. Di Filipina ukiran ini terdapat juga di papan perahu bagian atas dan pada lesplan rumah Suku Bajo (Sama). Di Filipina masyarakat Suku Bajo (Sama) atau penduduk Suku Bajo (Sama) disebut Zambuang yang berasal dari Bahasa Bajo (sama) yaitu Sambuah3. Nama ini diabadikan oleh penjajah spanyol ketika itu, pada tahun 1980 masyarakat Suku Bajo (Sama) berjumlah kurang lebih 400.000 jiwa. Data ini diperoleh dari hasil wawancara dengan seorang Guru besar Antropologi Universitas Manila di Desa Jayabakti Kecamatan Pagimana tahun 1980, Prof. DR. Rikson dalam rangka perjalanannya ke Indonesia. Yang tentunya kebudayaan ini harus tetap lestari dari generasi ke genersai.
Asal muasal penamaan suku Bajo (Sama). Berawal sejak Pada Zaman kerajaan Bone  abad ke-16, saat itu kelompok yang di tugaskan mencari putri dari Raja Johor Malaysia mendarat di Sulwesi Selatan, kemudian singgah di pulau Kodingareng Makassar dan mendirikan kerjaan kecil yang bergabung dengan kerajaan Gowa. Setelah itu beberapa dari kelompok tersebut ke Teluk Bone sehingga kelompok inilah yang menemukan sang Putri Raja Johor yang hilang. Cerita ini dikisahkan dalam tradisi lisan Suku Bajo (Sama). Sebagai berikut: Alkisah pada suatu hari muncul sebuah busa atau buih di Teluk Bone yang kemuadian kejadian ini dilaporkan kepada Raja Bone bahwa dalam buih ini nampak sosok wanita yang rupawan. Segera raja memerintahkan kepada pengawal untuk menjemput hal yang aneh ini.


 

2Suku di Eropa dari ras Asia yang hidup tidak menetap dan mengembara.
3Tiang yang ditancap pada tambatan perahu



Dengan adat dan tata cara kerajaan, perahu beserta para pengawal segera mendekati buih kemudian mempersilahkan sang Putri untuk turun ke perahu. Namun sang Putri tidak bergerak dengan seribu bahasa. Segera kejadian ini dilaporkan kembali kepada Raja, kemudian Raja memerintahkan kepada kelompok Suku yang baru menepi di pantai (Suku Bajo) untuk mengadakan penjemputan kembali. Maka dengan adat dan tata cara sendiri, punggawa dengan kelompoknya mendayung perahu, ula-ula ditancap dan gendangpun ditabuh, mengelilingi buih sebanyak tiga kali kemudian  punggawa mendekat dan duduk bersila sambil kedua tangan diangkat setinggi kepala sebagai tanda penghormatan kebesaran dan berkata:
“Oh Pap, pamapporah ma basar-basar
Labah toddah labah tarusang
Kalangang goyak ssapauang langik
Busei, kamudi ma appok nggai ta bilah
Rittak boe mata tanges limongang madisembah”
(Bahasa Bajo/Sama)

Artinya :

“Maaf beribu maaf yang dipertuan
Seantero lautan dan pulau
Berbantalkan ombak, beratapkan langit
Dayung, kemudi patah tak berbilang
Tetes air mata kesedihan pada yang dipertuhan”


Mendengar lantunan kata penghormatan ini sang Putri mengangguk lalu turun keperahu penjemputan kemudian di persembahkan kepada Raja Bone dan pada akhirnya di persunting oleh Raja dan dikaruniai seorang Putra bernama Lasendrak. Masa kesil Lasendrak ini tak betah tinggal di istana, ia selalu menangis dan bisa tenang bila diajak ke pantai. Oleh sebab itu Rajapun membangun sebuah rumah di tepi pantai untuk tempat tinggalnya, di lokasi tempat pertama kali Suku Bajo menepi. Disinilah Lasendrak dibesarkan hingga dewasa dan menjadi panglima perang Suku Bajo (Sama) menghadapi Belanda saat perang Bone (cerita ini dari Mbo Mutong, Mbo Hadda almarhum Pamrita/Ulama Suku Bajo (sama) di Jayabakti, Kec. Pagimana tahun  1980).





Kemudian Raja Bone menempatkan kelompok tersebut disebuah pantai dan menyebut kelompok tersebut BAJOE (Huruf “E” dibaca terpisah). Sehingga BAJO E yang hanya berjarak 7 Km dari Watapone (Ibu kota Kabupaten Bone) adalah kota pelabuhan Feri yang menghubungkan Kolaka di Sulawesi Tenggara. Di Sulawesi Selatan Suku Bajo mendapat 2 sebutan yakni orang Makassar menyebutnya Orang Bayo atau Turijene (Turijeknek) dan orang Bugis menyebutnya Orang Bajo. Seberapa besar pengaruh kedua sebutan ini memberikan gambaran cultural mengedepankan moto leluhur, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung yang melahirkan jati diri sebagai terungkap dalam untaian kalimat dalam Bahasa Bugis :

“Monna Bajo ta Bajoang
Monna Unik ta Ugikang
Monna tidung ta tiduang
Anak Karaeng. Anak Somba ri gowa
Somba lalo Bajo”

Artinya : 

“Bajo memang Bajo
Bugis memang Bugis
Keturunan Raja yang disembah di Gowa
Lalo Bajo disembah


Namun Suku Bajo lebih akrab disapa Suku Sama. Karena sebutan Suku Sama lebih membudaya di masyarakat Suku Bajo (Sama) dari pada nama Suku Bajo. hal ini dapat dilihat dari percakapan sehari-hari masyarakat Suku Bajo, bahwa mereka tidak menggunakan nama Suku Bajo melainkan kata Sama. Misalnya, Suku Bajo (Sama) Pagimana kedatangan Suku Bajo (Sama) dari Sangkuang Maluku Utara. Akan terjadi percakapan seperti berikut:

 Bajo (Sama) dari  Pagimana      :“Sama Palikkak manja kita?” (Bajo Dari manakah 
                                                      anda?).
Bajo (Sama) dari Sangkuang    :”Kami Sama tikka ma Sangkuang.” ( Saya Bajo dari
                                                     Sangkuang).



Dari percakapan tersebut bahwa perbedaan tempat Suku Bajo tidak membuat perbedaan budaya ataupun bahasa yang mereka gunakan. Semuanya berpangkal dari akar budaya yang sama yang mengandung nilai persamaan budaya spesifik laut dan jiwa kebersamaan. Walaupun terpisah satu dengan yang lain, Daerah, Negara, maupun Lautan yang memisahkan mereka tetap satu dalam nama, Orang Sama.  Kedatangan Suku Bajo (Sama) dari Bajoe (Bone) di Kerajaan Banggai pada abad XVI,  dipimpin oleh para Punggawa. Sebagian dari punggawa tersebut menetap di Pulau Banggai dan sebagian lagi meneruskan ke Teluk Tomini4.

Nama-nama Punggawa kelompok yang menetap di Banggai
Antara lain sebagai berikut :
1.      Mbo Toto
2.      Mbo Muhammad
3.      Mbo Mahani Palallo
4.      Mbo Ibrahim
5.      Mbo Sauda
6.      Mbo Mangattik
7.      Mbo Karettek

Perkampungan mereka terletak di pantai Banggai Tinangkung dan Kalumbatang5 (cerita dari Guru Muhammad Alm. Cucu dari Mbo Muhammad pada tahun 1972)

Nama-nama Punggawa kelompok yang menetap di Pagimana
Antara lain sebagai berikut :
1.      Mbo Sayang
2.      Mbo Buregas
3.      Mbo Makkawani
4.      Mbo Rabbuna
5.      Mbo Sabbuna
6.      Mbo Jamahung




 

4Pada waktu itu Pagimana belum bernama dan pantainyapenuh dengan hutan bakau serta tidak ada manusia yang ada ditempat tersebut
5 Berasal dari bahasa Banggai yaitu Polubatan yang artinya Kedatangan/datang.



Perkampungan mereka terletak disebuah Delta Sungai Pagimana, dimana pada waktu itu tidak ada seorangpun manusia kecuali para Punggawa Suku Bajo (Sama) tersebut. Hal ini menjadikan pesimis bagi mereka kepada siapa berkomunikasi untuk memperoleh bahan makanan dengan cara membeli atau tukar menukar hasil laut. Namun firasat mereka mengatakan bahwa ada orang-orang disekitar tempat tersebut.
Maka para punggawa Suku Bajo mengendap-endap atau mencari jejak kaki disekitar tempat tersebut. Hingga akhirnya mereka menemukan jejak kaki manusia disuatu tempat. Maka pada suatu hari Punggawa menggantungkan ikan di tempat jejak kaki tersebut dan pada tengah hari dilihat ikan yang digantung sebelumnya  telah diganti dengan bahan makanan seperti beras, sagu dan lain-lain. Pekerjaan ini sudah beberapa kali diulang dan hasil penukaran lebih memuaskan lagi hanya saja manusia pemilik bahan makanan tersebut satu sama lain belum bertemu muka karena masih saling curiga. Inilah yang disebut Dagang Bisu.
Namun Punggawa tidak putus asa. Pada kesempatan berikutnya ikan digantung lagi di tempat sebelumnya kemudian Punggawa bersembunyi memperhatikan gerak-gerik manusia yang akan mengambil ikan itu dan menggantinya dengan bahan makanan. Maka saat itu Punggawapun menunjukkan dirinya dan tak urung lagi pertempuran terjadi antara Talenga6, dengan kelompok Punggawa Bajo (Sama) yang berakhir dengan tidak ada korban jiwa dan berhasil dengan perjanjian perdamaian, saling merangkul-merangkul dan padaa saat itu lahirlah pilosofi yang pertama yaitu “Belak”. (cerita ini dari T Solom, pendeta Mbayang, Pak Dak Ninia, Mantan Kepala Sekolah Jayabakti Kecamatan Pagimana yaitu sesepuh Suku Saluan).
Saat ini tempat Suku Bajo berada di Kecamatan Pagimana, sebuah kata Pagimana juga berasal dari sebuah  tradisi lisan masyarakat, sebagai berikut: Pada suatu hari sekelompok Suku Loinang dan Suku Bajo (Sama) sedang berkumpul dan bercakap-cakap di daerah Delta Sungai Pagimana. Tiba-tiba terdampar seekor ikan Pari Ayam di Sungai tersebut. Kemudian oleh Suku Bajo (Sama), ikan tersebut ditombak. Setelah didaratkan ke Pantai. Suku Loinang melihat ikan pari ayam itu dengan penuh heran.

 kemudian bertanya dalam bahasa Loinang.
“Pagi apaa aiyya?” (Pari apakah ini?)

Lalu Suku Bajo (Sama) menjawab:
“Aiyya Pagimanok” (ini Pari Ayam)



 

 6Panglima Perang Suku Loinang





Dari kata “Pagi” berarti “Pari”/Ikan Pari” dalam bahasa Loinang Sedangkan ”Manok” berarti “Ayam” dalam Bahasa Bajo (Sama). Sehingga nama pagimana berasal dari  perpaduan kata Suku Loinang dan Suku Bajo (Sama), yang memiliki nilai moral yakni awal keakraban dan persaudaraan kedua suku. (cerita Mbo Mutong Alm. Imam Tua Desa Jayabakti)
 Perjanjian Perdamaian antara Suku Loinang dan Suku Bajo yaitu Belak, melahirkan Suku Saluan. Belak yang berarti keluarga dan mengandung pilosofi kemanusiaan dan persaudaraan antara Suku Loinang (Saluan) dan Suku Bajo (Sama) sejak abad XVI sampai seekarang. Asal muasal nama Suku Saluan terdapat didalam buku Sejarah Indonesia dalam lintas Sejarah Indonesia oleh Erni Padeatu, SH, halaman 54. Yang menjelaskan sebagai berikut :
“ketika mereka bersuara dengan orang lain, disekitar tempat itu yang sudah memakai celana pendek maka mereka lalu menyerap budaya tersebut dengan ikut-ikutan memakai celana yang dalam Bahasa Loinang disebut Saluan dari kata Saluar (Celana)

Sedangkan berdasarkan, cerita tradisi Lisan dalam Masyarakat, sebagai berikut: Pada waktu mereka (Suku Loinang) membuka perkampungan di lingkuan (Basabungan Kec.Pagimana) berjarak 1 Km dari pantai, Suku Bajo Saat itu telah ada di pantai dan sudah akrab dengan Belak. Dengan hikmah belak, beberapa orang Suku Loinang dipakaikan Saluar (celana) pengganti pakaian asli mereka dan diperkenalkan kepada mereka bahwa pakaian (celana) yang mereka pakai namanya adala Saluar (celana, dalam bahasa Bajo). Setelah mereka kembali ke lingkuang mereka ditanya “Apakah yang kalian pakai?”. Mereka menjawab “yang kami pakai ini adalah Saluar”. Karena Huruf R agak canggung diucapkan dalam Bahasa Loinang maka terucaplah kata Saluan. (cerita dari Mbo Haddad an Mbo Mutong, Alm. Cucu dari Punggawa Bajo yang pertama di Kecamatan Pagimana)

Saat Suku Bajo (Sama) datang di Pagimana. Di tempat tersebut terdapat mata air minum yang jernih yang terletak di bawah pohon besar yang telah tumbang, Suku Bajo menamakanya Boe Tingko Nunuk. Dari dua kata  Tongko (Pohon besar yang telah tumbang/mati) dan Nunok (Pohon beringin). Sehingga tempat tersebut dikenal dengan nama Tongku Nunok, yang lama-kelamaan dihuni menjadi Tongko Nunuk.







pada Abad ke XVI terbentuk di delta Sungai Pagimana dengan bentuk pemerintahannya yang bersifat pimpinan kelompok. Dan diangktlah Mbo Makkawani (Wa Loro) sebagai Punggawa yang mengumpul Pujiah7. Setelah zaman penjajahan Belanda terbentuklah kampung Bajo (Sama) dengan Punggawa yang pertama yaitu Mbo Haba pada tahun 1917. Tempat kampun Bajo berpindah-pindah dari Delta Sungai ke Suatu Pulau yang jaraknya 300 meter ke Arah Utara Laut yang dikenal dengan nama Kampung Bajo dikenal hingga tahun 1965. Pada tanggal 20 mei 1965 Kampung Bajo dianugerahi nama baru oleh R. Ace Slamet Bupati ke II Kabupaten Banggai, menjadi Jaya Bakti. Alasanya adalah jaya karena berbakti. Sesuai dengan Moto Suku Bajo yang berbunyi “Sambuah nggai lessek ma pammanangna” artinya “Tiang sekali tancap pantang untup dipindah”, disertai dengan semangat yang berapi-api yang melekat didalam dada masyarakat dalam pembangunan di bidang apa saja.
Hubungan lalulintas darat, saat ini Desa Jayabakti dapat dilalui dengan jalan raya dari Desa Tongko Nunuk ke Desa Jayabakti. Yang telah dibangun sejak tahu 1982 oleh Pemda Kab.Banggai, Bupati Kol. TNI AD Yoesoef Soepardjan. pada saat ini penduduk Desa Jayabakti berjumlah 4800jiwa/1400 KK . terdiri dari 80% nelayan dan 20% profesi lain. Yang terbagi atas 5 Dusun yakni 3 Dusun (DS1, DS2, DS3, di Desa Jayabakti) dan DS4 terletak di Tanjung Jepara serta DS5 P.Tembang. pada tahun 2006, dua dusun sebrang telah bergabung menjadi desa baru dengan nama Sama Jatem (Jepara Tembang).
Pungawa-punggawa di Desa Jayabakti, sejak berdirinya Kampung Suku Bajo di Pagimana Kabupaten Banggai sampai sekarang, sebagai berikut:


1.      Mbo Haba (1917-1930)
2.      Mbo Hada (1931-1935)
3.      Mbo Assa (1936-1939)
4.      Mbo Bangkunis (1940-1942)
5.      Mbo Nyombali (1943-1946)
6.      Mbo Bangkunis (1947-1950)
7.      Mbo Nusi Lasupu (1951-1956)
8.      Ndalawe Tube (1957-1963)
9.      Ndali Minggu (1964-1971)
10.  Tuba Sahabat (1972-1974)
11.  Ndalawe Tube (1975-1981)
12.  Hakim Minggu (1982-1986)
13.  Ndali Minggu (1990-1998)
14.  Baharudin Djatung (1999-2005)
15.  Mikran Palolo (2006-sekarang)





7Semacam pajak yang disetor ke Bone dengan berlayar


PENGARUH ERA GLOBALISASI TERHADAP KEBUDAYAAN

Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Kemajuan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi,termasuk kemunculan telegraf dan internet, merupakan factor utama dalam globalisasi yang semakin mendorong saling ketergantungan (interdependensi) aktivitas ekonomi dan budaya.
Meski sejumlah pihak menyatakan bahwa globalisasi berawal di era modern, beberapa pakar lainnya melacak sejarah globalisasi sampai sebelum zaman penemuan Eropa dan pelayaran ke Dunia Baru. Ada pula pakar yang mencatat terjadinya globalisasi pada milenium ketiga sebelum Masehi. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, keterhubungan ekonomi dan budaya dunia berlangsung sangat cepat.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang terkena dampak globalisasi, salah satunya globalisasi budaya. Tentunya globalisasi tersebut dapat memberikan dampak terhadap budaya di Indonesia, baik dampak positif maupun negatif. Oleh karena itu, penulis pada kesempatan kali ini akan membahas Pengaruh Globalisasi Terhadap Perkembangan Budaya di Indonesia.

Globalisasi Budaya
Globalisasi budaya meningkatkan kontak lintas budaya namun diiringi dengan berkurangnya keunikan komunitas yang dulunya terisolasi. Globalisasi juga merubah cara pandang sekolompok manusia maupun individu tentang pola berperilaku, pola berpakaian, pola kerja, dan lain lain. Hal ini karena masuknya pengaruh dari luar Indonesia. Sehingga saat ini, mayoritas penduduk Indonesia mulai ikut-ikutan trend asing. Salah satunya cara berbusana, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa gaya berbusana di Indonesia sudah mengikuti trend barat. Seperti yang kita ketahui bahwa dahulu Indonesia sangat sopan dalam berbusana, akan tetapi pada saat ini sudah banyak pria maupun wanita menggunakan pakaian ketat, celana di atas lutut, baju di atas pusar dsb. Hal tersebut menegaskan bahwa kebudayaan di Indonesia telah terglobalisasi oleh pengaruh luar.

Tantangan Kebudayaan ini di Era Globalisasi
Dalam era globalisasi sekarang ini, tantangan yang dihadapi yaitu pengaruh budaya masyarakat lain yang tidak dapat dihindarkan lagi. Pengaruh tersebut dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Kontak langsung dapat terjadi antarmasyarakat atau antarindividu. Proses perubahan dalam kontak langsung meliputi akulturasi, asimilasi dan difusi.
Kontak tidak langsung dapat terjadi melalui alat-alat elektronik atau alat komunikasi massa, seperti televise, radio, internet, film, majalah, dan surat kabar. Akan tetapi, pengaruh dari kontak ini terhadap perubahan sosial-budaya belum sepenuhnya benar. Misalnya, perubahan pola hidup akibat pengaruh televise. Jika sebab-sebab perubahan sosial bersumber pada masyarakat lain, hal ini terjadi karena kebudayaan dari masyarakat lain tersebut telah memberikan pengaruhnya.
Hubungan yang dilakukan antara dua masyarakat yang berbeda memiliki kecenderungan menimbulkan pengaruh timbal balik. Jika hubungan tersebut dilakukan melalui saluran alat-alat komunikasi, ada kemungkinan pengaruh tersebut hanya datang dari satu pihak saja, yaitu dari masyarakat pengguna alat-alat komunikasi yang bersangkutan. Jika pengaruh dari masyarakat tersebut diterima dan tidak melalui cara-cara paksaan, hasilnya dinamakan demonstration effect. Proses pengadaptasian suatu kebudayaan baru cenderung lebih kuat dan lebih cepat sehingga budaya tradisional setiap masyarakat mulai ditinggalkan tidak menutup kemungkinan akan dilupakan.
Selain Masuknya Budaya Barat yang menjadi akar dari semua dampak negatif Globalisasi bidang sosial budaya, ada unsur lain yang ikut berperan dalam hal ini yaitu “Kemajuan IPTEK”. Kemajuan IPTEK ini tidak dapat kita pungkiri lagi kehadirannya, bahkan sudah merupakan “nyawa kedua” bagi sebagian besar orang Indonesia. Kemajuan IPTEK adalah dampak positif dari globalisasi dalam bidang Teknologi, namun ini sedikit banyak membawa dampak negatif bidang Sosial Budaya yang diantaranya melahirkan gaya hidup yang: Individualisti, pragmatism, materialism, hedonism, konsumerisme

Solusi dalam Menghadapi Era Globalisai
Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi tantangan kebudayaan dalam era globalisasi yang berada  di Kec.Pagimana Kab.Banggai adalah dengan menanamkan jati diri terhadap kebudayaan yang dimilikinya dengan terus mengembangkan dan menggunakan kebudayaan (adat istiadat tersebut dalam kehidupan sehari- hari walaupun kebudayaan lain masuk seperti kebudayaan asing dan memperkenalkan kebudayaan yang sedang berkembang diluar sana akan tetapi tidak mempengaruhi budaya yang telah berkembang di daerah tersebut, dengan mempertahankan kebudayaan yang dimiliki dapat ditanamkan kepada seluruh generasi muda sebagai penerus mengembangkan dan mepertahankan kebudayaan yang telah ada sejak dahulu.








DAFTAR PUSTAKA

Akbar,Muhammad.2014.”Pengaruh globalisai terhadap kebudayaan di Indonesia”.[online] http://akbaar3.blogspot.com/2014/12/pengaruh-globalisasi-terhadap-budaya-di.html. diakses pada 22 april 2016

Minggu,Abdul Kholik. 2010. “Asal Usul Suku Bajo”.Pagimana.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah faktor-faktor yang mempeengaruhi stabilitas antosianin

Laporan observasi P3K

Resume Alkali dan Alkali Tanah